Seringkali keputusan diambil hanya berdasar pikiran pendek dan emosi sesaat. Namun, apa yang terjadi jika keputusanmu dengan pertimbangan dan perencanaan yang cukup matang yang sudah dibuat, tertolak dengan alasan tertentu? Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara agar supaya kamu bisa menerima dan mengikhlaskan keputusan yang berseberangan dengan keinginan atau perencanaanmu?
Sunday, April 04, 2021
Mengapa Seni Mencintai terlalu rumit?
Thursday, July 02, 2020
Aku Cinta Kamu Ada Apanya (!)
Catatan ini tertulis atas respon dari sebuah tulisan di laman sebelah yang berjudul Menerima Apa Adanya Itu Tak Pernah Apa Adanya .
Setiap penerimaanku selalu ada konsekuensi dibaliknya, entah menjalankan tanggung jawab, atau mengikuti aturan moral masyarakat. Tanggungan itu tak bisa diabaikan begitu saja, mengabaikan pun itu tanggung jawab, bukan hanya konsekwensi atas tindakan, penerimaanku tak pernah begitu saja
Pada akhirnya kau memilih untuk melepaskan tanggungjawabmu. Atau kesimpulan yang bisa diambil adalah kau bahkan tidak menerima ku. Karena, ya! Kau memilih ku ada apanya. Ku ulangi sekali lagi, kau tidak menerima ku karena menurutmu, penerimaanmu tak pernah begitu saja.
Aku tidak bersumpah atas kehilangan aku padamu. Aku juga tidak bersumpah semua kesakitan ini akan menimpamu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyumpahi orng-orang yang dengan sengaja atau tidak menyakitiku. Doaku menyertai kalian semua. Begitulah seharusnya. Akupun tidak memusingkan harus memikirkan kau yang menggoreskan luka teramat dalam.
Sakit, perih, berdarah dalam tangisan. Sudah cukup ku rasakan. Durasi untuk berada dalam kesakitan memang tidak terlalu lama. Kelihatannya. Nyatanya, untuk mendoakanmu dalam kebaikan pun aku masih angkuh. Aku masih sombong ntah sampai kapan. Ku pikir, tidak menghujat dan menyumpahimu saja sudah cukup alih-alih mendoakanmu dalam kebaikan. Sebentar. Semoga suatu saat kekuatanku akan sampai kesana. Mendoakanmu dalam kebaikan.
Ntah apa yang kau pikirkan tentangku. Selalu kau sebut aku yang menjebakmu; aku yang menyeretmu masuk ke dalam pusaranku; aku yang menjerumuskanmu. Apapun itu, aku terima. Bahkan aku masih menerima kesakitan itu sembari menahanmu untuk tetap bersamaku.
Januari, ekspektasiku yang terlalu tinggi terhadapmu. Lalu kau meninggalkanku atas realita yang begitu jatuh ke jurang setelah kau memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadapku. Ku pikir, aku sudah cukup merendahkan ekspektasiku agar jika realita tidak sesuai dengannya, tidak terlalu sakit penerimaannya.
Juni, kau membuatnya runtuh. Luluhlantak. Habis tak bersisa. Katamu, aku yang menghancurkan semuanya. Katamu, rasa itu kosong dan hampa, hilang begitu saja. Jika saja kau bisa menilik dan membaca hatimu, ku pikir itu hanya pikiranmu yang terlalu negatif. Masih ada aku di dalamnya, begitulah keyakinanku. Tapi ternyata selama ini aku mimpi buruk dalam realita. Atau aku mimpi indah dalam realita.
Mimpi indah dalam realita. Januari Februari, aku masih dalam kesadaran. Maret, aku terbuai mimpi indah. April Mei, aku mulai memasuki mimpi buruk. Juni, mulai memasuki realita kembali. Realita yang teramat pahit. Juli, sadarlah; bertahanlah; tumbuhlah; berkembanglah.
Tulisan ini ku rangkai untuk menyampaikan pesanku padamu yang tak ingin ku kirim secara langsung atau ku ucap di depanmu. Pesanku tak banyak dan tak panjang. Ubah saja motto hidupmu menjadi Aku Mencintaimu Ada Apanya (!)
Meski tak pernah kau bilang cinta duluan. Meski jawaban love you too doesnt make you stay. Meski bla bla bla sudah kita lakukan. Semua itu semu. Kau tetap pergi. Oke baik jika kau tidak pergi dan rumahmu masih disana, tapi kau memilih mundur. Iya, mundur katamu. Mundur menjadi kata yang officially menyudahi kita.
Ingatlah rasa ini seumur hidupmu. Bahkan aku terlalu percaya diri untuk mengatakan banyak yang lebih baik dariku disana hingga kau temukan yang lebih baik. Aku percaya diriku hanya sampah kotor yang kau pun tak sudi untuk menerimanya. Ingatlah aku memperjuangkanmu kala itu. Ingatlah aku mengemis padamu. Ingatlah, harga diriku yang sudah habis yang kau tepis dgn aku dan keluarga ku sudah kau injak2 harga dirinya.
Baik-baik ya. Bertingkahlah seperti itu kepada perempuan lain :)
Setiap penerimaanku selalu ada konsekuensi dibaliknya, entah menjalankan tanggung jawab, atau mengikuti aturan moral masyarakat. Tanggungan itu tak bisa diabaikan begitu saja, mengabaikan pun itu tanggung jawab, bukan hanya konsekwensi atas tindakan, penerimaanku tak pernah begitu saja
Pada akhirnya kau memilih untuk melepaskan tanggungjawabmu. Atau kesimpulan yang bisa diambil adalah kau bahkan tidak menerima ku. Karena, ya! Kau memilih ku ada apanya. Ku ulangi sekali lagi, kau tidak menerima ku karena menurutmu, penerimaanmu tak pernah begitu saja.
Aku tidak bersumpah atas kehilangan aku padamu. Aku juga tidak bersumpah semua kesakitan ini akan menimpamu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyumpahi orng-orang yang dengan sengaja atau tidak menyakitiku. Doaku menyertai kalian semua. Begitulah seharusnya. Akupun tidak memusingkan harus memikirkan kau yang menggoreskan luka teramat dalam.
Sakit, perih, berdarah dalam tangisan. Sudah cukup ku rasakan. Durasi untuk berada dalam kesakitan memang tidak terlalu lama. Kelihatannya. Nyatanya, untuk mendoakanmu dalam kebaikan pun aku masih angkuh. Aku masih sombong ntah sampai kapan. Ku pikir, tidak menghujat dan menyumpahimu saja sudah cukup alih-alih mendoakanmu dalam kebaikan. Sebentar. Semoga suatu saat kekuatanku akan sampai kesana. Mendoakanmu dalam kebaikan.
Ntah apa yang kau pikirkan tentangku. Selalu kau sebut aku yang menjebakmu; aku yang menyeretmu masuk ke dalam pusaranku; aku yang menjerumuskanmu. Apapun itu, aku terima. Bahkan aku masih menerima kesakitan itu sembari menahanmu untuk tetap bersamaku.
Januari, ekspektasiku yang terlalu tinggi terhadapmu. Lalu kau meninggalkanku atas realita yang begitu jatuh ke jurang setelah kau memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadapku. Ku pikir, aku sudah cukup merendahkan ekspektasiku agar jika realita tidak sesuai dengannya, tidak terlalu sakit penerimaannya.
Juni, kau membuatnya runtuh. Luluhlantak. Habis tak bersisa. Katamu, aku yang menghancurkan semuanya. Katamu, rasa itu kosong dan hampa, hilang begitu saja. Jika saja kau bisa menilik dan membaca hatimu, ku pikir itu hanya pikiranmu yang terlalu negatif. Masih ada aku di dalamnya, begitulah keyakinanku. Tapi ternyata selama ini aku mimpi buruk dalam realita. Atau aku mimpi indah dalam realita.
Mimpi indah dalam realita. Januari Februari, aku masih dalam kesadaran. Maret, aku terbuai mimpi indah. April Mei, aku mulai memasuki mimpi buruk. Juni, mulai memasuki realita kembali. Realita yang teramat pahit. Juli, sadarlah; bertahanlah; tumbuhlah; berkembanglah.
Tulisan ini ku rangkai untuk menyampaikan pesanku padamu yang tak ingin ku kirim secara langsung atau ku ucap di depanmu. Pesanku tak banyak dan tak panjang. Ubah saja motto hidupmu menjadi Aku Mencintaimu Ada Apanya (!)
Meski tak pernah kau bilang cinta duluan. Meski jawaban love you too doesnt make you stay. Meski bla bla bla sudah kita lakukan. Semua itu semu. Kau tetap pergi. Oke baik jika kau tidak pergi dan rumahmu masih disana, tapi kau memilih mundur. Iya, mundur katamu. Mundur menjadi kata yang officially menyudahi kita.
Ingatlah rasa ini seumur hidupmu. Bahkan aku terlalu percaya diri untuk mengatakan banyak yang lebih baik dariku disana hingga kau temukan yang lebih baik. Aku percaya diriku hanya sampah kotor yang kau pun tak sudi untuk menerimanya. Ingatlah aku memperjuangkanmu kala itu. Ingatlah aku mengemis padamu. Ingatlah, harga diriku yang sudah habis yang kau tepis dgn aku dan keluarga ku sudah kau injak2 harga dirinya.
Baik-baik ya. Bertingkahlah seperti itu kepada perempuan lain :)
Saturday, January 25, 2020
hujan dan kapital
Semarang, 25 Januari 2020
16.29
Sebelum aku menuliskan ini, perasaan kekecewaan terhadap diri sendiri kian memuncak. Mungkin kurang tepat jika ku sebut dengan kekecewaan. Boleh saja dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan diri. Setiap kali mendekati (atau didekati?) dengan orang lain, aku selalu menakar tingkat ekspektasi. Sebisa mungkin untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi juga terlalu rendah. Kali ini, kepercayaan diri itu muncul seiring dengan ekspektasi ku yang sebenarnya biasa saja.
Baru saja aku menyadari, aku bukanlah apa-apa dibanding dia yang luar biasa.
16.10
Baru saja aku bercerita dengan diriku sendiri, berharap cerita itu sampai kepada Tuhan. Dalam sujudku, tak terasa air mata jatuh mengingat diriku yang sangat kecil, mengharapkan karunia Dia yang begitu besar. dia, yang sekarang mendekat, ku panjatkan dalam doaku kepada-Nya. tapi, semakin sering interaksi ku dgn dia, semakin aku menyadari bahwa aku tidak ada apa-apanya.
16.16
Mungkin resah yang menghampiri ku sejak tadi malam mengirimkan sinyalku kepada bunda. Pada akhirnya, saling memberi pesan pun terlaksana. dan tak pernah ku sangka, ini pertama kalinya, dia, bercerita dengan bunda. Ya. aku pun terheran-heran, apa yang terlewati, terjadi begitu saja. Inginku mengklaim apakah ini pertanda?
Tapi aku tak ingin terburu-buru menafsirkan seperti itu. ada baiknya ku simpan dalam peti, lalu ku gantungkan ke bintang.
17.05
Hormon menjelang period, konflik kecil yang ku alami dgn sahabat, belum terselesaikannya urusan ku dgn individu lain, serta harapan yang kadang naik turun dgn dia, membuat suasana hati dua hari ini cukup berantakan.
16.29
Sebelum aku menuliskan ini, perasaan kekecewaan terhadap diri sendiri kian memuncak. Mungkin kurang tepat jika ku sebut dengan kekecewaan. Boleh saja dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan diri. Setiap kali mendekati (atau didekati?) dengan orang lain, aku selalu menakar tingkat ekspektasi. Sebisa mungkin untuk tidak berekspektasi terlalu tinggi juga terlalu rendah. Kali ini, kepercayaan diri itu muncul seiring dengan ekspektasi ku yang sebenarnya biasa saja.
Baru saja aku menyadari, aku bukanlah apa-apa dibanding dia yang luar biasa.
16.10
Baru saja aku bercerita dengan diriku sendiri, berharap cerita itu sampai kepada Tuhan. Dalam sujudku, tak terasa air mata jatuh mengingat diriku yang sangat kecil, mengharapkan karunia Dia yang begitu besar. dia, yang sekarang mendekat, ku panjatkan dalam doaku kepada-Nya. tapi, semakin sering interaksi ku dgn dia, semakin aku menyadari bahwa aku tidak ada apa-apanya.
16.16
Mungkin resah yang menghampiri ku sejak tadi malam mengirimkan sinyalku kepada bunda. Pada akhirnya, saling memberi pesan pun terlaksana. dan tak pernah ku sangka, ini pertama kalinya, dia, bercerita dengan bunda. Ya. aku pun terheran-heran, apa yang terlewati, terjadi begitu saja. Inginku mengklaim apakah ini pertanda?
Tapi aku tak ingin terburu-buru menafsirkan seperti itu. ada baiknya ku simpan dalam peti, lalu ku gantungkan ke bintang.
17.05
Hormon menjelang period, konflik kecil yang ku alami dgn sahabat, belum terselesaikannya urusan ku dgn individu lain, serta harapan yang kadang naik turun dgn dia, membuat suasana hati dua hari ini cukup berantakan.
Sunday, April 29, 2018
Subscribe to:
Posts (Atom)