Kaum Monarchomacha
ditujukan kepada kaum yang melawan keburukan keburukan tertentu pada
pemerintahan yang absolut. Mereka mengemukakan hubungan gereja dan negara dalam
bentuk yang berlainan dalam keadaan yang baru, yang ditimbulkan oleh gerakan
pembaharuan agama dan absolutisme. Yang dimaksudkan ialah perselisihan antar
negara dan agama. Kaum Monarchomacha hanya terdapat dikalangan kaum Katholik
dan Calvin. Perancis, Inggris, dan Skotlandia adalah negeri-negeri dimana
perselisihan dengan absolutisme menyebabkan orang merenungkannya secara
teoritis.
Persoalan pokok dalam
ajaran kaum Monarchomacha adalah sebagai berikut : Apakah raja berhak
menjalankan pemerintahan dan memberi perintah yang bertentangan dengan
aturan-aturan agama? Apabila orang memungkiri pertanyaan ini, maka ini akan
membawa bermacam-macam persoalan yang lebih rumit. Orang harus lebih mentaati
Tuhan dari pada manusia. Dengan demikian, maka agam mempunyai unsur
revolusioner terhadap kekuasaan duniawi, apabila tindakan pemerintah memberikan
alasan untuk itu. Apabila raja dan rakyat berbeda sama sekali atau sebagian
berada dalam ruang lingkup agama, maka banyak kemungkinan timbulnya
perselisihan.
Peperangan-peperangan
agama akan menjadi sumber dari ajaran Monarchomacha. Dalam makalah ini, penulis
akan membahas empat pemikiran tokoh kaum Monarchomacha. Diantaranya Hotomanus
(1573), Brutus (1579), Buchanan (1579), dan Althusius (1610). Selain
menjelaskan pemikiran umum keempat tokoh tersebut mengenai perlawanan terhadap
keburukan sistem pemerintahan yang absolut, penulis juga akan mencoba
merefleksikan pemikiran tersebut terhadap keadaan faktual yang terjadi di
Indonesia.
1.
Hotamanus
(1573)
Pada
tahun 1573 Hotamanus menulis buku yang berjudul Franco-Gallia. Dasar-dasar yang digunakan oleh Hotman untuk menolak
absolutisme, bukanlah dasar-dasar agama melainkan dasar sejarah. Sehingga, ia
bukanlah seorang monarchomachus yang sebenarnya, meskipun orang banyak yang
memasukkannya kedalam golongan itu.
2.
Brutus
(1579)
Karangan
monarchomacha yang paling berpengaruh, terbit tanpa nama pengarang pada tahun
1579, berjudul Vindiciae contra Tyrannos
(Alat Hukum melawan Raja-raja yang sewenang-wenang). Pengarangnya bersembunyi
dibelakang nama Brutus. Namun pengarang aslinya ialah Duplessis-Mornay.
Karangan
Vindiciae contra Tyrannos adalah satu
tinjauan yang prinsipiil tentang perlawanan terhadap raja-raja. Dalam karangan
tersebut, terdapat empat pertanyaan penting yang menjadi pondasi kuat kaum
monarchomacha.
1. Apakah
rakyat wajib mentaati seorang raja, yang memerintahkan sesuatu yang
bertentangan dengan perintah-perintah Tuhan?
2. Bolehkah
perlawanan ini bersifat umum?
3. Bolehkah
orang melakukan perlawanan terhadap seorang raja, yang tanpa melanggar agama,
menindas dan membawa negara kepada keruntuhannya ?
4. Apakah
raja-raja asing wajib ataukah berhak untuk menolong bangsa-bangsa asing?
Dalam menjawab empat pertanyaan fundamental yang
terdapat dalam karangan, pengarang menguraikan bukti-bukti keagamaan, dalam hal
ini mengacu pada Wasiat Lama tentang penobatan Saul menjadi raja. Selanjutnya
ia memperkuat uraiannya dengan menunjukkan, bahwa si peminjam tanah wajib
mentaati tuan tanah yang lebih tinggi, apabila perintah dari tuan tanah atasan
bertentangan dengan perintah tuan tanah bawahan. Tuan tanah atasan diasumsikan
atau dicontohkan sebagai Tuhan, sedangkan tuan tanah bawahan dianggap sebagai
raja. Oleh sebab itu, manusia harus lebih tunduk kepada Tuhan dibandingkan
dengan raja yang memberikan perintah bertentangan dengan ajaran agama.
Pertanyaan kedua dijawab oleh si pengarang dengan
menguraikan pada hubungan kekuasaan timbal balik, sebagaimana diajarkan oleh
Wasiat Lama dan Hukum Romawi. Pada pengangkatan Saul menjadi raja, dapat
dibedakan dua macam persetujuan. Yang pertama mengenai hubungan antara Tuhan pada
satu pihak dan raja beserta rakyat di pihak yang lain, untuk kepentingan
mempertahankan rakyat pilihan itu. Yang kedua mengenai hubungan raja dan
rakyat, agar raja memerintah dengan adilnya dan agar rakyat mentaatinya. Dari
persetujuan inilah lahir hak untuk melawan. Sebab, baik raja maupun rakyat
harus mempertahankan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, perlawanan itu harus
dilakukan oleh majelis-majelis, bukan para warga partikelir.
Pertanyaan ketiga dijawab berkaitan dengan paham
yang dianut oleh si pengarang, yaitu paham kedaulatan rakyat. Kerajaan ada
untuk kepentingan rakyat. Ia diangkat oleh persetujuan rakyat dan dipilih oleh
Tuhan. Raja-raja harus memimpin tentara, akan tetapi mereka harus tetap
mengingat tujuan untuk apa mereka diangkat. Hubungan baik antara raja dan
rakyat adalah suatu persetujuan, dimana
rakyat meminta pada raja supaya memerintah dengan adil dan sesuai dengan
undang-undang dan raja meng-iya-kan ini. Selanjutnya rakyat berjanji akan taat
dibawah syarat-syarat itu. Jadi sang raja mengikat dirinya tanpa syarat, akan
tetapi rakyat mengikat dirinya dengan syarat.
Raja yang sewenang-wenang adalah orang yang telah
melanggar persetujuan, yang karenanya pemerintahannya menjadi tidak sah. Ia
ditempatkan diluar undang-undang dan hukum alam, dalam hal ini memberi hak pada
setiap orang untuk melawan, sedangkan badan perwakilan rakyat harus memecatnya.
Pertanyaan terakhir dijawab oleh Brutus dengan
argumen bahwa kesatuan gereja dan umat manusia membebankan kewajiban kepada
raja-raja asing wajib atau berhak untuk menolong bangsa asing.
3.
Buchanan
(1579)
Buchanan
seorang humanis yang unggul, terlebih dahulu mencari perbedaan yang tajam
antara pengertian raja dan tiran. Raja dibatasi oleh undang-undang. Rakyat
membuat undang-undang didalam badan perwakilan rakyat, sedangkan hakim yang
berdiri bebas harus menafsirkannya, jika terdapat kekurangan-kekurangan. Mereka
mempertahankan moral umum didalam negara. Apabila raja memperoleh kekuasaannya
tanpa bantuan rakyat, atau melakukannya secara tidak adil, maka ia adalah
seorang tiran. Pendapat Buchanan mengenai persoalan diatas berdasarkan Kitab
Suci.
Sang
tiran boleh dibunuh tanpa hukuman. Hak untuk membunuh seorang tiran haruslah
mempertahankan undang-undang dari rakyat. Akan tetapi rakyat seluruhnya harus
lebih dulu meminta pertanggungjawaban dari raja; jika bukan seluruh rakyat,
maka dapatlah ini dilakukan oleh jumlah terbesar dari rakyat atau beberapa
orang.
4.
Althusius
(1610)
Karya
utama Althaus adalah “Politica Methodice
Digesta” (1610), yaitu “Susunan Ketatanegaraan yang sistematis, diperkuat
dengan contoh-contoh dari Sejarah biasa dan Sejarah suci”. Menurut Althaus,
tiap manusia berdasarkan suatu kontrak, lahir peraturan-peraturan untuk
persekutuan berdasarkan hubungan kekuasaan dan kepatuhan. Pendirian yang organis
mengenai negara ini menyebabkan ikatan-ikatan bawahan yang merupakan anggota
negara.
Kedaulatan
adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan kepentingan jasmani dan
rohani dari anggota-anggota negara. Kekuasaan ada ditangan rakyat sebagai keseluruhan.
Semua orang adalah bebas dan sama, maka kekuasaannya harus berdasarkan
persetujuan mereka yang ada dibawah tersebut. Karena itulah ada suatu
kedaulatan yang terletak ditangan rakyat seluruhnya, yang tak dapat diasingkan
atau dipindahkan, kedaulatan itu menjelma dalam undang-undang, yang harus
dilaksanakan oleh para pegawai.
Para
pegawai terdiri atas seorang kepala dan para pengawas yang mengamati berlakunya
undang-undang dan adat istiadat. Kepala pegawai terikat oleh suatu perjanjian
dengan rakyat untuk menjalankan undang-undang, sedangkan rakyat berjanji untuk
taat. Dari keadaan seperti inilah lahir sifat monarchomachis. Rakyat boleh
melakukan perlawanan bagi raja yang sewenang-wenang bahkan membunuhnya. Namun,
para pengawas yang harus melaksanakan hal tersebut. masing-masing warga hanya
melakukan perlawanan secara pasif.
5.
Mariana
Juan
de Mariana dianggap memiliki pandangan istimewa karena pandangannya tentang
pembunuhan terhadap tiran yang dibenarkan olehnya. Akan tetapi, Mariana
menganjurkan pembunuhan dilakukan secara diam-diam, sesuai cara Machiavelli,
tidak secara terang-terangan. Negara sebagai suatu masyarakat, lebih rendah
kedudukannya dari gereja dan bahwa tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
tatasusila.
6.
Bellamin
Monarchi absolut merupakan bentuk pemerintahan yang
paling baik dalam teori, akan tetapi kekurangan-kekurangan akhlak manusia
membuat prakteknya berlainan. Bellamin dalam karangannya “Dispotationes”
mengajarkan, bahwa Paus tidak mempunyai kekuasaan langsung dalam urusan keduniawian.
Bellamin membela dengan bersemangat pemerintahan absolut dan kekuasaan yang
berasal dari Tuhan.
7.
Suarez
Karangan
Suarez yang berjudul “Tractatus de Legibus ac Deo Legislatore (Uraian tentang
Undang-udang dan Tuhan, Pembentuk Undang-undang 1613). Pokok pangkal dari
pandangannya ialah bahwa semua makhluk yang bersusila dalam segala
hubungan-hubungannya ditentukan oleh undang-undang, yakni suatu peraturan umum
untuk masyarakat yang telah diumumkan sebaik-baiknya dan yang harus memuat
unsur kemauan dan unsur akal.
Hukum
alam itu tak berubah, baik manusia, maupun pembuat undang-undang, bahkan Paus
sendiri tak dapat mengubahnya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya dapatlah
diusahakan penyesuaian dengan keadaan, karena Tuhan sebagai pemilik alam
semesta, dapat menempatkan objek diluar lingkungan kekuasaan undang-undang.
Menurut
Suarez, tidak ada negara yang dapat berdiri sendiri tanpa berhubungan dengan
negara lain. Negara bukan hanya gabungan orang-orang tanpa kesatuan hukum dan
tatasusila, tetapi merupakan kesatuan berdasarkan tindakan kemauan atau karena
persetujuan umum. Bentuk moarchi adalah bentuk pemerintahan yang paling baik,
dimana kekuasaan raja berasal dari rakyat. Tetapi apabila kekuasaan ini sudah
diserahkan, maka rakyat selalu terikat, kecuali dalam hal tirani. Peraturan
yang dikeluarkan oleh raja yang tak beriman atau raja tanpa susila, tidak
mengikat rakyat, sedangkan peraturan hukum alam lebih tinggi dari kekuasaan
manusia manapun juga.
Pada
akhir tahun 1572 rakyat Inggris telah menjatuhkan dan melaksanakan secara resmi
hukuman mati atas rajanya, Charles I. Disini, ajaran tentang perlawanan
terhadap raja mengalami puncaknya dalam prakteknya, tetapi sekaligus juga
sampai pada akhirnya. Dengan ini, berakhirlah usaha untuk, dengan bantuan ajaran
tentang kekuasaan raja yang asalnya dari Tuhan.
8.
Milton
Milton
dengan terus terang menyatakan bahwa ia adalah penganut pendirian
monarchomachis seluruhnya, sehingga ia juga menyetujui pelaksanaan hukuman
mati. Orang yang mendapat perintah untuk memerintah dan ada pada kepentingan
rakyat yang harus diselenggarakan. Rakyat menjadi sumber kekuasaan
pemerintahan, sehingga kedaulatan rakyat itu benar ada.
Dengan
ini sampailah kita pada penghabisan ajaran monarchomachi. Orang tidak dapat
menghalang-halangi, bahwa pemerintahan absolut telah bertahan sebagai bentuk
negara umum yang mengkhaskan masanya. Keberatan dan penolakan mereka yang
kebanyakan bersifat keagamaan tidak dihiraukan lagi, dalam berhadapan dengan
kepentingan konkret yang dikemukakan oleh pemerintahan absolut. Keberatan tetap
yang tidak hanya diajukan dalam perihal raja yang mengabaikan aturan-aturan
keagamaan, melainkan dalam tindakan mereka yang sewenang-wenang, yang lahir
dari kekurangan mereka sebagai manusia.
Daftar Pustaka
Schmid, J.J Von,
Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan
Hukum, Jakarta: PT. Pembangunan, 1988.