Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan
sumber daya alamnya. Ditinjua dari letak geografis, Indonesia berada diantara
dua benua, dua samudera, dan di garis khatulistiwa. Hasil kekayaan alam yang
dapat dimanfaatkan tidak hanya di sektro pertanian, tetapi juga di sektor
kelautan. Meskipun demikian, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang di
dunia. Negara berkembang adalah istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan
suatu negara dengan kesejahteraan material tingkat rendah. [1]. Hal ini menandakan,
Indonesia belum mencapai predikat negara maju yang memiliki tingkat
kesejahteraan dan standar hidup yang cukup tinggi.
Kesejahteraan dan standar hidup suatu negara
ditentukan oleh pendapat perkapita dan penggunaan teknologi masyarakatnya.
Namun dalam makalah ini, penulis tidak membahas bagaimana kesejahteraan atau
standar hidup Indonesia, tetapi lebih mengarah ke analisis pencapaian
kesejahteraan masyarakat saat ini. Sejahtera menurut W.J.S Poerwadarimta adalah ‘aman, sentosa, dan makmur’.
Sehingga arti kesejahteraan itu meliputi kemanan, keselamatan dan kemakmuran[2]. Sederhananya, manusia
berlomba-lomba mengumpulkan materi untuk memenuhi kebutuhan, demi mencapai
predikat sejahtera. Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya
melalui perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam
bidang perekonomian.
Kebijakan pemerintah dalam upaya memajukan kesejahteraan
rakyat salah satu contoh kasusnya ialah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Adapun tujuan dari program BLT ini adalah membantu masyarakat miskin
agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf
kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi dan meningkatkan
tanggung jawab sosial bersama.[3] BLT merupakan salah satu program Pemerintahan SBY
untuk meringankan beban hidup masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya. Kebijakan ini merupakan program subsidi pemerintah setelah kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak tahun lalu. Kenaikan BMM diambil sebagai bentuk
penyelamatan anggaran Negara akibat naiknya harga minyak dunia saat itu. Program BLT pemerintah ini tidak
terlepas dari pro-kontra yang muncul di
masyarakat. Disatu sisi, BLT merupakan hal positif yang dapat membantu keluarga
miskin. Namun, BLT juga memiliki dampak negatif yaitu penerima bisa saja tidak
tepat sasaran atau masyarakat miskin ‘lebih’ dimanjakan oleh pemerintah karena
diberi uang cuma-cuma.
Kita pasti masih
ingat kasus BLT beberapa tahun yang lalu. Ketika tiba-tiba banyak orang
memiskinkan dirinya. Banyak yang sengaja menggadaikan barang-barang mewahnya
agar ketika ada petugas yang survei, mereka tidak di eliminasi dari daftar
warga miskin. Mereka begitu berharap bahwa dengan status “miskin” yang mereka
punya, mereka mampu mengantongi uang 300 ribu dengan mudah. Selain BLT, kita juga
mungkin sering mendengar kasus raskin yang seringkali tidak tepat sasaran. Yang
seharusnya ditujukan untuk orang-orang tak mampu, kadang malah diborong oleh
PNS. Dan ketika tertangkap kamera wartawan, pegawai-pegawai tersebut cuma
cengar-cengir enteng.[4]
Dari
contoh kasus diatas, tampak bahwa mentalitas ekonomi masyarakat Indonesia lebih
senang diaku miskin dari pada makmur. Bagaimana tidak, orang rela memiskinkan
dirinya demi mendapat 100 ribu secara cuma-cuma tanpa perlu bersusah payah.
Pada kenyataannya di lapangan, nominal tersebut tidak seberapa dalam memenuhi
kebutuhan di zaman sekarang. Bagi orang-orang yang menengah ke bawah, 100 ribu
merupakan nominal yang sangat membantu. Namun bagaimana mereka yang cukup
mampu, lalu mengaku miskin demi mendapat secuil bantuan pemerintah baik itu
BLT, raskin, bahkan beasiswa. Asumsi penulis ialah mereka yang memiskinkan
dirinya dan mendapat bantuan tidak perlu bersusah-susah menambah penghasilan
melalui kerja ekstra, tetapi
mengambil jalan pintas agar dapat mencukupi ‘sedikit’ kebutuhan mereka. Sehingga, muncul pertanyaan dibenak penulis
bagaimana kondisi mentalitas ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya? Lalu,
apa saja yang mendasari kondisi mentalitas ekonomi tersebut ?
Mentalitas, Pilihan Manusia
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, mentalitas artinya keadaan dan aktivitas jiwa (batin),
cara berfikir dan berperasaan. Mentalitas ekonomi maksudnya cara berfikir dari
dalam jiwa manusia untuk memakmurkan dan menyejahterakan hidupnya.
Pada dasarnya,
manusia bebas menentukan pilihan hidupnya. Etika merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang norma, moral, kewajiban manusia, serta tentang yang baik dan
buruk.[5]
Kebebasan manusia dibahas dalam etika. Manusia bebas memilih, tetapi bebas yang
terbatas. Tiga macam kebebasan menurut Achmad Charris Zubair yaitu kebebasan
jasmaniah, kebebasan moral, serta kebebasan dan tanggung jawab. Pilihan untuk bermental
kaya atau bermental miskin juga merupakan kebebasan manusia.
Mentalitas
ekonomi masyarakat Indonesia sebagian besar cenderung ke mentalitas miskin.
Orang-orang rela memanipulasi surat keterangan miskin, surat keterangan gaji,
dan surat-suratan lain demi mendapat sedikit bantuan kecil dari pemerintah.
Tidak hanya dalam lingkup kehidupan sosial masyarakat, dalam bidang pendidikan
pun siswa maupun mahasiswa tertarik terhadap beasiswa bagi orang yang kurang
mampu dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
Mentalitas
miskin yang dimaksudkan penulis ialah cara masyarakat untuk mendapatkan uang.
Dengan sedikit usaha harus mencapai hasil yang semaksimal mungkin. Bukan
berarti dengan mentalitas miskin, orang dapat menekan kebutuhan dan menjalani
hidup dengan sederhana. Justru, pilihan orang bermental miskin dikarenakan ada
tujuan didepannya. Tujuan tersebut tidak lain ialah memenuhi kebutuhan. Namun,
fenomena yang terjadi di masyarakat, uang yang didapat digunakan untuk
berfoya-foya bahkan cenderung ke arah hedonisme. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa
kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.[6]. Bahkan, dapat dimungkinkan
terjadi pergeseran dari mentalitas miskin ke mentalitas kaya. Mentalitas kaya
yang dimaksud ialah orang malu dibilang miskin, sehingga menggunakan
barang-barang hanya dari merk atau
yang sedang trend saat itu.
Hal-hal yang
mendasari masyarakat memilih mental misikin agar dianggap kaya diantaranya
norma dan moral manusia. Manusia menyatakan dan mempertimbangkan, tetapi dia
juga berkehendak dan memilih.[7]
Selain itu, kehidupan
sosial dapat menjadi hal mendasar setelah norma dan moral. Proses sosial,
sebagaimana terlihat dalam perhubungan dan kelakuan sosial disebut kehidupan
sosial. Kehidupan sosial meliputi bentuk-bentuk kelakuan dan perhubungan
sosial, seperti: pembagian pekerjaan, persaingan, kerja sama, subordinasi,
kesetiaan dan lain-lain, yang tidak dapat ditemukan pada individu apabaila ia
hidup sendiri saja.[8]
Dan alasan
yang sangat memungkinkan ialah perkembangan modern kehidupan manusia. Manusia melengkapi
kebutuhan hidupnya dengan membentuk sistem pengadaan dan perencanaan raksasa,
dan orang merasa satu dengannya. Kebutuhan yang dimaksud mengalami perkembangan
sehingga manusia tidak hanya membutuhkan sandang, pangan, dan papan, tetapi
manusi dibuat seolah membutuhkan deodorant
atau permen wangi agar lebih percaya
diri. Apalagi di zaman yang canggih seperti ini, manusia juga membutuhkan
eksistensi melalui informasi dari seluruh dunia. Ini semua termasuk dalam
kegiatan manusia membentuk situasinya sendiri.[9]
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_berkembang
[2] W.J.S. Poerwadarimta,
Pengertian Kesejahteraan Manusia, h.
126.
[3] http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=84
[4] http://carissaviitri.wordpress.com/2012/03/23/cuma-orang-indonesia-yang-bangga-mengaku-miskin/
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme