jadi, ini tulisan pertama aku loh masuk buletin sekeren Pijar ;)
nulisnya bareng si Sosi, temen se-Pijar angkatan 2012
lets see yaaaa...
Menjelang penghujung semester ganjil tahun ajaran 2012-2013, Mahasiswa Fakultas Filsafat digegerkan dengan beredarnya desas-desus pelaksanaan studi lapangan secara besar-besaran. Keriuhan tersebut berawal ketika mencuat kabar bahwa Fakultas Filsafat telah menerima bantuan dana sebesar Rp 3,2 milyar.
Mustofa Anshori Lidinillah, wakil dekan bagian administrasi umum , membenarkan adanya kegiatan kuliah lapangan ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Kamis (29/11). Bahkan, dia mengaku telah melakukan sosialisasi sejak awal semester.
“Sosialisasi kepada mahasiswa telah lama dilakukan, bahkan pada awal semester ganjil tahun ajaran 2012-2013. Namun, persiapan real dilaksanakan setelah ada kepastian dari pihak pemerintah” kata pria yang pernah menerima penghargaan Satyalancana Karya Satya X dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 2008.
Musthofa Menambahkan bahwa pada semester ganjil tahun ajaran 2012-2013, Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapatkan kucuran dana sebanyak Rp 93 Milyar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berupa Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BO-PTN). Dari jumlah itu, Fakultas Filsafat memperoleh ‘jatah’ Rp 3,2 Milyar.
Sayangnya, realisasi dan pelaksanaan kegiatan studi lapangan terhambat persoalan menejemen waktu. “Banyak kegiatan yang harus dilaksanakan sebelum tanggal 10 Desember. Karena Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) harus masuk sebelum tanggal tersebut,” jelas Musthofa.
Akibat BO-PTN tersebut banyak mata kuliah mengajukan proposal untuk melaksanakan studi lapangan. Beberapa matakuliah yang merencanakan kuliah lapangan adalah mata kuliah Filsafat Nilai, Filsafat Pancasila, dan Filsafat Komunikasi. Yang terakhir adalah mata kuliah Filsafat Agama dan Filsafat Bahasa yang mengadakan wisata ceria ke Bali. Padahal, semester-semester sebelumnya mata kuliah tersebut jarang atau bahkan belum pernah melakukan studi lapangan.
Memang ada perbedaan mencolok jumlah mata kuliah yang mengadakan studi lapangan semester kali ini dengan semester sebelumnya. Sebagai pembanding, mata kuliah yang rutin mengadakan studi lapangan misalnya, Filsafat Keindahan (Estetika) dan Filsafat Seni.
Dra. Kartini Pramono, M. Hum, salah satu pengajar di Fakultas Filsafat, mendukung kuliah lapangan ini. Menurut dia, maksud aktivitas belajar di lapangan adalah mengenalkan secara langsung materi kepada mahasiswa sekaligus sebagai bentuk Tri Dharma perguruan tinggi, khususnya penelitian.
Selain mengenalkan seni dan estetika di kehidupan nyata, tambah dosen yang sering mengampu mata kuliah Estetika ini, manfaat yang diberikan kuliah lapangan adalah pemberdayaan komoditas biasa menjadi barang seni yang memiliki nilai estetika tinggi.
Walau begitu, dia mengakui pelaksanaan kuliah lapangan masih mempunyai kendala. Misalnya pada semester ini, hambatan muncul dari segi birokrasi, yaitu waktu pengajuan SPJ yang terlalu pendek. Di sisi lain, kurangnya apresiasi mahasiswa terhadap kuliah lapangan serta adanya dana-dana yang tak terduga.
Studi lapangan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dana yang dipakai untuk model belajar dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang biasa dilakukan oleh mahasiswa matakuliah estetika dan filsafat seni bersumber dari Biaya Operasional Pendidikan (BOP). Selain mendapat dari dana BOP, mahasiswa juga harus membayar sejumlah iuran agar mencukupi biaya yang diperlukan selama melaksanakan studi lapangan.
Tetapi menurut Kartini, masalah dana bukanlah persoalan besar. “Yang penting mahasiswa mendapatkan esensi dari kuliah lapangan ini karena filsafat tidak hanya abstrak, filsafat juga harus melihat realitas, khususnya filsafat estetika,” tandasnya.
Kuliah lapangan tidak hanya memberikan manfaat kepada peserta kuliah yang semata-mata berrsifat akademik. Mahasiswa juga bisa memperoleh keuntungan lain. Hal itu disampaikan Koesmawan Shaifullah, mahasiswa Fakultas Filsafat angkatan 2008. “Selain menerapkan teori, manfaaat studi lapangan lainnya ialah sebagai ajang refreshing dan mempererat persahabatan antar-mahasiswa filsafat,” kata mahasiswa yang kerap dipanggil Gusma.
Di lain pihak, Nilli Indriyani mahasiswa Fakultas filsafat angkatan 2011, menyangsikan efektivitas studi lapangan untuk belajar secara langsung dengan keadaan sekitar dan mengadakan penelitian lapangan. “Tujuan utama kuliah lapangan kan adalah hasil penelitiannya, tapi kalo dilihat dari studi lapangan yang sudah berjalan, terkesan penelitian itu urusan kedua,” tandasnya.
Dana BO-PTN Fakultas Filsafat dialokasikan juga untuk kegiatan-kegiatan lain, seperti penelitian dosen dan penyusunan bahan ajar. Termasuk diantaranya pembelian manuscript, naskah-naskah dan pengumpulan dokumen-dokumen kearifan nusantara yang mencapai angka Rp 607 juta.
Angka tersebut cukup fantastis mengingat anggaran fakultas filsafat yang bersumber dari pembayaran BOP mahasiswa guna pembelian koleksi buku perpustakaan hanya berkisar pada 25-30 juta per-tahun. Itu pun seringkali tidak terpenuhi karena berbagai faktor. Seperti penunggakan pembayaran BOP oleh mahasiswa atau karena dipakai untuk perawatan fasilitas sarana prasarana perkuliahan.
Kondisi tersebut dibenarkan Widayati, salah satu pegawai perpustakan fakultas filsafat. Menurutnya, selama ini pembelian buku perpustakaan selalu dilakukan mandiri. Dana yang didapatkan pun tidak begitu besar, hanya berkisar 500 ribu rupiah. “Perpustakaan membeli buku dari uang denda, bebas pustaka dan juga hibah dari para wisudawan sebagai syarat kelulusan” tuturnya.
Lebih lanjut, Widayati memaparkan, pada tahun 2009, Fakultas Filsafat mendapatkan suntikan dana sebesar Rp 200 juta melalui program World Class Research University (WCRU) yang dicanangkan oleh pemerintah. Hampir seluruhnya digunakan untuk pembelian dan perawatan buku.
Bagi sebagian mahasiswa, studi lapangan merupakan salah satu ‘jembatan’ antara teori dan realitas. Melalui kuliah lapangan mahasiswa diharapkan mampu menerapkan ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi ketika terjun langsung ke masyarakat. Hanya saja, studi lapangan menjadi ‘refreshing time’ semata tatkala tidak dipantau dengan baik dari pihak akademik. Sebab, seringkali laporan dari hasil studi lapangan dibuat asal-asalan.
Meningkatkan kualitas mahasiswa tidak hanya dengan mengadakan studi lapangan ‘berjamaah’ tetapi tidak secara ‘istiqomah’. Apalagi dengan persiapan seadanya dan dilakukan secara tergesa-gesa. Di pihak lain, memperkaya pustaka di perpustakaan juga perlu diperhatikan. Akhirnya, milyaran rupiah terhambur sia-sia manakala digunakan tidak bijaksana.
Editor : Amir Fawwaz & Alfian Syafril