Sunday, May 05, 2013

Kaum monarchomacha - filsafat politik

at 5/05/2013
Kaum Monarchomacha ditujukan kepada kaum yang melawan keburukan keburukan tertentu pada pemerintahan yang absolut. Mereka mengemukakan hubungan gereja dan negara dalam bentuk yang berlainan dalam keadaan yang baru, yang ditimbulkan oleh gerakan pembaharuan agama dan absolutisme. Yang dimaksudkan ialah perselisihan antar negara dan agama. Kaum Monarchomacha hanya terdapat dikalangan kaum Katholik dan Calvin. Perancis, Inggris, dan Skotlandia adalah negeri-negeri dimana perselisihan dengan absolutisme menyebabkan orang merenungkannya secara teoritis.
Persoalan pokok dalam ajaran kaum Monarchomacha adalah sebagai berikut : Apakah raja berhak menjalankan pemerintahan dan memberi perintah yang bertentangan dengan aturan-aturan agama? Apabila orang memungkiri pertanyaan ini, maka ini akan membawa bermacam-macam persoalan yang lebih rumit. Orang harus lebih mentaati Tuhan dari pada manusia. Dengan demikian, maka agam mempunyai unsur revolusioner terhadap kekuasaan duniawi, apabila tindakan pemerintah memberikan alasan untuk itu. Apabila raja dan rakyat berbeda sama sekali atau sebagian berada dalam ruang lingkup agama, maka banyak kemungkinan timbulnya perselisihan.
Peperangan-peperangan agama akan menjadi sumber dari ajaran Monarchomacha. Dalam makalah ini, penulis akan membahas empat pemikiran tokoh kaum Monarchomacha. Diantaranya Hotomanus (1573), Brutus (1579), Buchanan (1579), dan Althusius (1610). Selain menjelaskan pemikiran umum keempat tokoh tersebut mengenai perlawanan terhadap keburukan sistem pemerintahan yang absolut, penulis juga akan mencoba merefleksikan pemikiran tersebut terhadap keadaan faktual yang terjadi di Indonesia.
1.      Hotamanus (1573)
Pada tahun 1573 Hotamanus menulis buku yang berjudul Franco-Gallia. Dasar-dasar yang digunakan oleh Hotman untuk menolak absolutisme, bukanlah dasar-dasar agama melainkan dasar sejarah. Sehingga, ia bukanlah seorang monarchomachus yang sebenarnya, meskipun orang banyak yang memasukkannya kedalam golongan itu.

2.      Brutus (1579)
Karangan monarchomacha yang paling berpengaruh, terbit tanpa nama pengarang pada tahun 1579, berjudul Vindiciae contra Tyrannos (Alat Hukum melawan Raja-raja yang sewenang-wenang). Pengarangnya bersembunyi dibelakang nama Brutus. Namun pengarang aslinya ialah Duplessis-Mornay.
Karangan Vindiciae contra Tyrannos adalah satu tinjauan yang prinsipiil tentang perlawanan terhadap raja-raja. Dalam karangan tersebut, terdapat empat pertanyaan penting yang menjadi pondasi kuat kaum monarchomacha.
1.      Apakah rakyat wajib mentaati seorang raja, yang memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah-perintah Tuhan?
2.      Bolehkah perlawanan ini bersifat umum?
3.      Bolehkah orang melakukan perlawanan terhadap seorang raja, yang tanpa melanggar agama, menindas dan membawa negara kepada keruntuhannya ?
4.      Apakah raja-raja asing wajib ataukah berhak untuk menolong bangsa-bangsa asing?
Dalam menjawab empat pertanyaan fundamental yang terdapat dalam karangan, pengarang menguraikan bukti-bukti keagamaan, dalam hal ini mengacu pada Wasiat Lama tentang penobatan Saul menjadi raja. Selanjutnya ia memperkuat uraiannya dengan menunjukkan, bahwa si peminjam tanah wajib mentaati tuan tanah yang lebih tinggi, apabila perintah dari tuan tanah atasan bertentangan dengan perintah tuan tanah bawahan. Tuan tanah atasan diasumsikan atau dicontohkan sebagai Tuhan, sedangkan tuan tanah bawahan dianggap sebagai raja. Oleh sebab itu, manusia harus lebih tunduk kepada Tuhan dibandingkan dengan raja yang memberikan perintah bertentangan dengan ajaran agama.
Pertanyaan kedua dijawab oleh si pengarang dengan menguraikan pada hubungan kekuasaan timbal balik, sebagaimana diajarkan oleh Wasiat Lama dan Hukum Romawi. Pada pengangkatan Saul menjadi raja, dapat dibedakan dua macam persetujuan. Yang pertama mengenai hubungan antara Tuhan pada satu pihak dan raja beserta rakyat di pihak yang lain, untuk kepentingan mempertahankan rakyat pilihan itu. Yang kedua mengenai hubungan raja dan rakyat, agar raja memerintah dengan adilnya dan agar rakyat mentaatinya. Dari persetujuan inilah lahir hak untuk melawan. Sebab, baik raja maupun rakyat harus mempertahankan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, perlawanan itu harus dilakukan oleh majelis-majelis, bukan para warga partikelir.
Pertanyaan ketiga dijawab berkaitan dengan paham yang dianut oleh si pengarang, yaitu paham kedaulatan rakyat. Kerajaan ada untuk kepentingan rakyat. Ia diangkat oleh persetujuan rakyat dan dipilih oleh Tuhan. Raja-raja harus memimpin tentara, akan tetapi mereka harus tetap mengingat tujuan untuk apa mereka diangkat. Hubungan baik antara raja dan rakyat adalah suatu persetujuan, dimana  rakyat meminta pada raja supaya memerintah dengan adil dan sesuai dengan undang-undang dan raja meng-iya-kan ini. Selanjutnya rakyat berjanji akan taat dibawah syarat-syarat itu. Jadi sang raja mengikat dirinya tanpa syarat, akan tetapi rakyat mengikat dirinya dengan syarat.
Raja yang sewenang-wenang adalah orang yang telah melanggar persetujuan, yang karenanya pemerintahannya menjadi tidak sah. Ia ditempatkan diluar undang-undang dan hukum alam, dalam hal ini memberi hak pada setiap orang untuk melawan, sedangkan badan perwakilan rakyat harus memecatnya.
Pertanyaan terakhir dijawab oleh Brutus dengan argumen bahwa kesatuan gereja dan umat manusia membebankan kewajiban kepada raja-raja asing wajib atau berhak untuk menolong bangsa asing.

3.      Buchanan (1579)
Buchanan seorang humanis yang unggul, terlebih dahulu mencari perbedaan yang tajam antara pengertian raja dan tiran. Raja dibatasi oleh undang-undang. Rakyat membuat undang-undang didalam badan perwakilan rakyat, sedangkan hakim yang berdiri bebas harus menafsirkannya, jika terdapat kekurangan-kekurangan. Mereka mempertahankan moral umum didalam negara. Apabila raja memperoleh kekuasaannya tanpa bantuan rakyat, atau melakukannya secara tidak adil, maka ia adalah seorang tiran. Pendapat Buchanan mengenai persoalan diatas berdasarkan Kitab Suci.
Sang tiran boleh dibunuh tanpa hukuman. Hak untuk membunuh seorang tiran haruslah mempertahankan undang-undang dari rakyat. Akan tetapi rakyat seluruhnya harus lebih dulu meminta pertanggungjawaban dari raja; jika bukan seluruh rakyat, maka dapatlah ini dilakukan oleh jumlah terbesar dari rakyat atau beberapa orang.

4.      Althusius (1610)
Karya utama Althaus adalah “Politica Methodice Digesta” (1610), yaitu “Susunan Ketatanegaraan yang sistematis, diperkuat dengan contoh-contoh dari Sejarah biasa dan Sejarah suci”. Menurut Althaus, tiap manusia berdasarkan suatu kontrak, lahir peraturan-peraturan untuk persekutuan berdasarkan hubungan kekuasaan dan kepatuhan. Pendirian yang organis mengenai negara ini menyebabkan ikatan-ikatan bawahan yang merupakan anggota negara.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan kepentingan jasmani dan rohani dari anggota-anggota negara. Kekuasaan ada ditangan rakyat sebagai keseluruhan. Semua orang adalah bebas dan sama, maka kekuasaannya harus berdasarkan persetujuan mereka yang ada dibawah tersebut. Karena itulah ada suatu kedaulatan yang terletak ditangan rakyat seluruhnya, yang tak dapat diasingkan atau dipindahkan, kedaulatan itu menjelma dalam undang-undang, yang harus dilaksanakan oleh para pegawai.
Para pegawai terdiri atas seorang kepala dan para pengawas yang mengamati berlakunya undang-undang dan adat istiadat. Kepala pegawai terikat oleh suatu perjanjian dengan rakyat untuk menjalankan undang-undang, sedangkan rakyat berjanji untuk taat. Dari keadaan seperti inilah lahir sifat monarchomachis. Rakyat boleh melakukan perlawanan bagi raja yang sewenang-wenang bahkan membunuhnya. Namun, para pengawas yang harus melaksanakan hal tersebut. masing-masing warga hanya melakukan perlawanan secara pasif.

5.      Mariana
Juan de Mariana dianggap memiliki pandangan istimewa karena pandangannya tentang pembunuhan terhadap tiran yang dibenarkan olehnya. Akan tetapi, Mariana menganjurkan pembunuhan dilakukan secara diam-diam, sesuai cara Machiavelli, tidak secara terang-terangan. Negara sebagai suatu masyarakat, lebih rendah kedudukannya dari gereja dan bahwa tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan tatasusila.

6.      Bellamin
Monarchi absolut merupakan bentuk pemerintahan yang paling baik dalam teori, akan tetapi kekurangan-kekurangan akhlak manusia membuat prakteknya berlainan. Bellamin dalam karangannya “Dispotationes” mengajarkan, bahwa Paus tidak mempunyai kekuasaan langsung dalam urusan keduniawian. Bellamin membela dengan bersemangat pemerintahan absolut dan kekuasaan yang berasal dari Tuhan.

7.      Suarez
Karangan Suarez yang berjudul “Tractatus de Legibus ac Deo Legislatore (Uraian tentang Undang-udang dan Tuhan, Pembentuk Undang-undang 1613). Pokok pangkal dari pandangannya ialah bahwa semua makhluk yang bersusila dalam segala hubungan-hubungannya ditentukan oleh undang-undang, yakni suatu peraturan umum untuk masyarakat yang telah diumumkan sebaik-baiknya dan yang harus memuat unsur kemauan dan unsur akal.
Hukum alam itu tak berubah, baik manusia, maupun pembuat undang-undang, bahkan Paus sendiri tak dapat mengubahnya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya dapatlah diusahakan penyesuaian dengan keadaan, karena Tuhan sebagai pemilik alam semesta, dapat menempatkan objek diluar lingkungan kekuasaan undang-undang.
Menurut Suarez, tidak ada negara yang dapat berdiri sendiri tanpa berhubungan dengan negara lain. Negara bukan hanya gabungan orang-orang tanpa kesatuan hukum dan tatasusila, tetapi merupakan kesatuan berdasarkan tindakan kemauan atau karena persetujuan umum. Bentuk moarchi adalah bentuk pemerintahan yang paling baik, dimana kekuasaan raja berasal dari rakyat. Tetapi apabila kekuasaan ini sudah diserahkan, maka rakyat selalu terikat, kecuali dalam hal tirani. Peraturan yang dikeluarkan oleh raja yang tak beriman atau raja tanpa susila, tidak mengikat rakyat, sedangkan peraturan hukum alam lebih tinggi dari kekuasaan manusia manapun juga.
Pada akhir tahun 1572 rakyat Inggris telah menjatuhkan dan melaksanakan secara resmi hukuman mati atas rajanya, Charles I. Disini, ajaran tentang perlawanan terhadap raja mengalami puncaknya dalam prakteknya, tetapi sekaligus juga sampai pada akhirnya. Dengan ini, berakhirlah usaha untuk, dengan bantuan ajaran tentang kekuasaan raja yang asalnya dari Tuhan.

8.      Milton
Milton dengan terus terang menyatakan bahwa ia adalah penganut pendirian monarchomachis seluruhnya, sehingga ia juga menyetujui pelaksanaan hukuman mati. Orang yang mendapat perintah untuk memerintah dan ada pada kepentingan rakyat yang harus diselenggarakan. Rakyat menjadi sumber kekuasaan pemerintahan, sehingga kedaulatan rakyat itu benar ada.

Dengan ini sampailah kita pada penghabisan ajaran monarchomachi. Orang tidak dapat menghalang-halangi, bahwa pemerintahan absolut telah bertahan sebagai bentuk negara umum yang mengkhaskan masanya. Keberatan dan penolakan mereka yang kebanyakan bersifat keagamaan tidak dihiraukan lagi, dalam berhadapan dengan kepentingan konkret yang dikemukakan oleh pemerintahan absolut. Keberatan tetap yang tidak hanya diajukan dalam perihal raja yang mengabaikan aturan-aturan keagamaan, melainkan dalam tindakan mereka yang sewenang-wenang, yang lahir dari kekurangan mereka sebagai manusia.

Daftar Pustaka

Schmid, J.J Von, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT. Pembangunan, 1988.
 

r e g e n b o g e n Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review