Wednesday, May 08, 2013

semiotika Umberto Eco - filsafat komunikasi

at 5/08/2013
Umberto Eco terkenal di seluruh dunia melalui dua novelnya, The Name of The Rose, dan Foucault’s Pendulum. Kedua karya ini mengarah ke aspek-aspek masa lalu dan masa kini dalam teori tentang tanda. Eco lahir pada tahun 1932 di Italia. Sebelum menjadi ahli semiotika, ia belajar filsafat dan mengkhususkan diri pada teori estetika dan filsafat Abad Pertengahan.
Menurut pandangan Cox (2001:4), Eco merupakan salah satu orang bijak dewasa yang tidak tertarik pada penyangkalan keberadaan orang-orang beriman namun dengan sungguh-sungguh berusaha mencari iluminasi yang berbeda dari dasar umum yang sama. Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini semiotika menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistik dan budaya. Berbeda dengan konsep yang lebih statis yang diajukan Ferdinand de Saussure tentang tanda dan pendekatan taksonomis semiotika, serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang bersifat dinamis tanda dalam bukunya Theory of Semiothics (1976, 1979).
Buku A Theory of Semiotics secara eksplisit terkait dengan suatu teori tantang pembangkitkan koda dan tanda, titik tolak yang mendasarinya adalah pengertian Peirce tentang semiosis yang tak terbatas terkait dengan sejenis penengah dalam kaitannya dengan kedudukan pembaca. Tanda menurut Eco, tidak hanya mewakili sesuatu yang lain, namun juga mesti ditafsirkan. Eco ingin menghindari kemungkinan makna tunggal di satu sisi, melawan makna yang tak berhingga banyaknya di sisi lain. Akan tetapi, semiosis tak terbatas lebih terkait dengan pengertian “interpretant” dari Peirce di mana makna ditetapkan dalam kaitannya dengan kondisi kemungkinan.
Secara umum, kode bisa berbentuk tunggal, jenis kode morse di mana suatu kode tertentu (garis dan titik) sesuai dengan sekumpulan tanda, yaitu huruf-huruf abjad. Walaupun dia memberikan sejumlah contoh dalam jenis-jenis kode ini, minatnya yang utama adalah dalam bahasa sebagai yang tersusun atas langue (di mana kode = tata bahasa, sintaksis, sistem) dan parole (laku bahasa). Tanpa kode, tanda-tanda suara atau garfis tidak memiliki arti apapun dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik.
Makna dari “sarana-tanda” (misalnya kata atau iamji) bersifat bebas terhadap objek yang dianggap nyata. Dengan kata lain, di sini perlu dihindari “kesalahan perujukan”. Eco juga menyadari bahwa kode memilki konteks. Konteks ini adalah kehidupan sosial dan kultural. Oleh sebab itu, “satuan-satuan kultural adalah tanda bahwa kehidupan sosial telah memberi kita: buku-buku penafsir imaji, tanggapannya yang sesuai untuk menafsirkan pertanyaan yang mendua, kata-kata untuk menafsirkan definisi dan demikian pula sebaliknya.
Sisi lain dari teori tentang pembentukan kode adalah teori tentang pembentukan tanda. Dalam pembahasannya tentang pembentukan tanda, Eco menitik beratkan lagi perhatian pada ketegangan antara unsur-unsur yang bisa dicocokkan, atau diramalkan, oleh kode (bdk. simbol, dalam terminologi Peirce), dan yang tidak bisa dicocokkan dengan mudah (ikon, dalam terminologi Peirce). Eco menyatakan bahwa unsur dalam kategori pertama disebut sebagai ratios facilis, dan yang kedua adalah ratio difficilis. Semakin kita dekat dengan ratio dificilis, semakin besar tanda dari objek itu sendiri. Ikon adalah kategori tanda yang menampilkan ini dengan sangat jelas.
Menurut Eco, unsur-unsur pokok dalam tipoloig cara pembentukan tanda adalah :
1.    Kerja fisik : upaya yang dilakukan untuk membuat tanda.
2.    Pengenalan : objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan kandungan tanda, seperti tanda, gejala, atau bukti.
3.    Penampilan : suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek atau tindakan.
4.    Replika : kecenderungan ke arah ratio difficilis secara prinsip, tetapi mengambil bentuk-bentuk kodifikasi melalui penggayaan. Contohnya adalah notasi musik, tanda matematika, dll.
5.    Penemuan : kasus yang paling jelas dari ratio difficilis. Sebagai uang tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu kontinuun materi baru.

Tema pokok dalam karangan Eco yang berjudul Semiotics and the Philosophy of Language berhubungan dengan perbedaan antara struktur kamus dan ensiklopedia. Sebenarnya, agar bisa berfungsi dengan baik secara jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan, munculnya makna-makna baru, maka kamus haruslah mirip dengan ensiklopedia. Eco mengatakan, “ini sebenarnya mirip dengan ensiklopedi terselubung”. Oleh sebab itu, ensiklopedia bisa menjadi model bahasa yang umum, suatu cara pengungkapan tanpa memaksakan suatu globalitas semu dan terbatas. Akhirnya, yang mungkin merupakan sumbangan Eco terbesar pada teori semiotika adalah upayanya dalam menunjukkan bahwa bahasa itu mirip dengan ensiklopedia, seperti yang ditemukan oleh philosophes abad kedelapan belas.

Daftar Pustaka
Kaelan, 2009, “Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika”, Yogyakarta: Paradigma

Lechte, John, 2001, “50 Filsuf Kontemporer”, Yogyakarta: Kanisius
 

r e g e n b o g e n Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review