Wednesday, April 23, 2014

Mentalitas Miskin Indonesia

at 4/23/2014


Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alamnya. Ditinjua dari letak geografis, Indonesia berada diantara dua benua, dua samudera, dan di garis khatulistiwa. Hasil kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan tidak hanya di sektro pertanian, tetapi juga di sektor kelautan. Meskipun demikian, Indonesia menjadi salah satu negara berkembang di dunia. Negara berkembang adalah istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan suatu negara dengan kesejahteraan material tingkat rendah. [1]. Hal ini menandakan, Indonesia belum mencapai predikat negara maju yang memiliki tingkat kesejahteraan dan standar hidup yang cukup tinggi.
Kesejahteraan dan standar hidup suatu negara ditentukan oleh pendapat perkapita dan penggunaan teknologi masyarakatnya. Namun dalam makalah ini, penulis tidak membahas bagaimana kesejahteraan atau standar hidup Indonesia, tetapi lebih mengarah ke analisis pencapaian kesejahteraan masyarakat saat ini. Sejahtera menurut W.J.S Poerwadarimta adalah ‘aman, sentosa, dan makmur’. Sehingga arti kesejahteraan itu meliputi kemanan, keselamatan dan kemakmuran[2]. Sederhananya, manusia berlomba-lomba mengumpulkan materi untuk memenuhi kebutuhan, demi mencapai predikat sejahtera. Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya melalui perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam bidang perekonomian.

Kebijakan pemerintah dalam upaya memajukan kesejahteraan rakyat salah satu contoh kasusnya ialah Bantuan Langsung Tunai (BLT). Adapun tujuan dari program BLT ini adalah membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi dan meningkatkan tanggung jawab sosial bersama.[3] BLT merupakan salah satu program Pemerintahan SBY untuk meringankan beban hidup masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebijakan ini merupakan program subsidi pemerintah setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tahun lalu. Kenaikan BMM diambil sebagai bentuk penyelamatan anggaran Negara akibat naiknya harga minyak dunia saat itu. Program BLT pemerintah ini tidak terlepas dari pro-kontra yang  muncul di masyarakat. Disatu sisi, BLT merupakan hal positif yang dapat membantu keluarga miskin. Namun, BLT juga memiliki dampak negatif yaitu penerima bisa saja tidak tepat sasaran atau masyarakat miskin ‘lebih’ dimanjakan oleh pemerintah karena diberi uang cuma-cuma.
Kita pasti masih ingat kasus BLT beberapa tahun yang lalu. Ketika tiba-tiba banyak orang memiskinkan dirinya. Banyak yang sengaja menggadaikan barang-barang mewahnya agar ketika ada petugas yang survei, mereka tidak di eliminasi dari daftar warga miskin. Mereka begitu berharap bahwa dengan status “miskin” yang mereka punya, mereka mampu mengantongi uang 300 ribu dengan mudah. Selain BLT, kita juga mungkin sering mendengar kasus raskin yang seringkali tidak tepat sasaran. Yang seharusnya ditujukan untuk orang-orang tak mampu, kadang malah diborong oleh PNS. Dan ketika tertangkap kamera wartawan, pegawai-pegawai tersebut cuma cengar-cengir enteng.[4]
Dari contoh kasus diatas, tampak bahwa mentalitas ekonomi masyarakat Indonesia lebih senang diaku miskin dari pada makmur. Bagaimana tidak, orang rela memiskinkan dirinya demi mendapat 100 ribu secara cuma-cuma tanpa perlu bersusah payah. Pada kenyataannya di lapangan, nominal tersebut tidak seberapa dalam memenuhi kebutuhan di zaman sekarang. Bagi orang-orang yang menengah ke bawah, 100 ribu merupakan nominal yang sangat membantu. Namun bagaimana mereka yang cukup mampu, lalu mengaku miskin demi mendapat secuil bantuan pemerintah baik itu BLT, raskin, bahkan beasiswa. Asumsi penulis ialah mereka yang memiskinkan dirinya dan mendapat bantuan tidak perlu bersusah-susah menambah penghasilan melalui kerja ekstra, tetapi mengambil jalan pintas agar dapat mencukupi ‘sedikit’ kebutuhan mereka. Sehingga, muncul pertanyaan dibenak penulis bagaimana kondisi mentalitas ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya? Lalu, apa saja yang mendasari kondisi mentalitas ekonomi tersebut ?

Mentalitas, Pilihan Manusia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mentalitas artinya keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berfikir dan berperasaan. Mentalitas ekonomi maksudnya cara berfikir dari dalam jiwa manusia untuk memakmurkan dan menyejahterakan hidupnya.
Pada dasarnya, manusia bebas menentukan pilihan hidupnya. Etika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang norma, moral, kewajiban manusia, serta tentang yang baik dan buruk.[5] Kebebasan manusia dibahas dalam etika. Manusia bebas memilih, tetapi bebas yang terbatas. Tiga macam kebebasan menurut Achmad Charris Zubair yaitu kebebasan jasmaniah, kebebasan moral, serta kebebasan dan tanggung jawab. Pilihan untuk bermental kaya atau bermental miskin juga merupakan kebebasan manusia.
Mentalitas ekonomi masyarakat Indonesia sebagian besar cenderung ke mentalitas miskin. Orang-orang rela memanipulasi surat keterangan miskin, surat keterangan gaji, dan surat-suratan lain demi mendapat sedikit bantuan kecil dari pemerintah. Tidak hanya dalam lingkup kehidupan sosial masyarakat, dalam bidang pendidikan pun siswa maupun mahasiswa tertarik terhadap beasiswa bagi orang yang kurang mampu dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
Mentalitas miskin yang dimaksudkan penulis ialah cara masyarakat untuk mendapatkan uang. Dengan sedikit usaha harus mencapai hasil yang semaksimal mungkin. Bukan berarti dengan mentalitas miskin, orang dapat menekan kebutuhan dan menjalani hidup dengan sederhana. Justru, pilihan orang bermental miskin dikarenakan ada tujuan didepannya. Tujuan tersebut tidak lain ialah memenuhi kebutuhan. Namun, fenomena yang terjadi di masyarakat, uang yang didapat digunakan untuk berfoya-foya bahkan cenderung ke arah hedonisme. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.[6]. Bahkan, dapat dimungkinkan terjadi pergeseran dari mentalitas miskin ke mentalitas kaya. Mentalitas kaya yang dimaksud ialah orang malu dibilang miskin, sehingga menggunakan barang-barang hanya dari merk atau yang sedang trend saat itu.
Hal-hal yang mendasari masyarakat memilih mental misikin agar dianggap kaya diantaranya norma dan moral manusia. Manusia menyatakan dan mempertimbangkan, tetapi dia juga berkehendak dan memilih.[7]
Selain itu, kehidupan sosial dapat menjadi hal mendasar setelah norma dan moral. Proses sosial, sebagaimana terlihat dalam perhubungan dan kelakuan sosial disebut kehidupan sosial. Kehidupan sosial meliputi bentuk-bentuk kelakuan dan perhubungan sosial, seperti: pembagian pekerjaan, persaingan, kerja sama, subordinasi, kesetiaan dan lain-lain, yang tidak dapat ditemukan pada individu apabaila ia hidup sendiri saja.[8]
Dan alasan yang sangat memungkinkan ialah perkembangan modern kehidupan manusia. Manusia melengkapi kebutuhan hidupnya dengan membentuk sistem pengadaan dan perencanaan raksasa, dan orang merasa satu dengannya. Kebutuhan yang dimaksud mengalami perkembangan sehingga manusia tidak hanya membutuhkan sandang, pangan, dan papan, tetapi manusi dibuat seolah membutuhkan deodorant atau permen wangi agar lebih percaya diri. Apalagi di zaman yang canggih seperti ini, manusia juga membutuhkan eksistensi melalui informasi dari seluruh dunia. Ini semua termasuk dalam kegiatan manusia membentuk situasinya sendiri.[9]


                                          


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_berkembang
[2] W.J.S. Poerwadarimta, Pengertian Kesejahteraan Manusia, h. 126.
[3] http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=84
[4] http://carissaviitri.wordpress.com/2012/03/23/cuma-orang-indonesia-yang-bangga-mengaku-miskin/
[5] Achmad C. Zubair, Kuliah Etika, Hal 9
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme
[7] Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri, h 145
[8] Abuhan Asy’ari,  Kuliah-Kuliah Filsafat Kebudayaan dan Soal-Soal Abad XX, h 61
[9] Kwant, Manusia dan Kritik, h 53
 

r e g e n b o g e n Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review