Sebagian orang menganggap mimpi sebagai bunga tidur. Sebagian lain mengangap perjumpaan setelah sekian lama yang mungkin sudah tak bisa lagi terealisasi di dunia nyata, ntah meninggal atau meninggalkan. Bagiku, mimpi sebagai simbol kekacauan alam bawah sadar yang tidak biasa. Atau bisa jadi, petuah atas keraguan dan kebimbangan yang terlintas.
Semalam aku memimpikan seseorang yang sudah lama tidak berkontak. Walaupun jika diperiksa alasan mengapa aku bermimpi demikian bisa ku runtutkan. Pertama, dia bukan teman biasa. Kedua, terakhir kali kami bertemu bukanlah perpisahan yang manusiawi, menurutku. Ketiga, setelah pertemuan terakhir itu ia kembali ke tempatnya, pagi tadi ia posting foto di tempat yang sering kami lalui di trip antar kota antar provinsi. Keempat, ada pesan yang ingin ku sampaikan dgn hati dan perasaan yang damai yang mungkin tak pernah tersampaikan sebelumnya.
Sesaat aku bertanya, bisakah ia berkeliling kota itu tanpaku? Bukankah 80% waktu yang ia habiskan di sana bersamaku. Ya, walaupun 20% sisanya sumbangsih awal ia menginjakkan kaki di sana dan sebelum ia akhirnya kembali ke tempat asal. Tentu saja 20% itu karna aku belum kenal dia dan karna aku juga sudah pindah dari kota itu.
Tapi, ia bukan aku. Setiap sudut kota itu, juga kota yang saat ini ku tinggali selalu ada jejaknya. Di kota itu, ia menemaniku dari aku bukan siapa hingga menjadi siapa-siapa. Di kota yang baru, ia masih setia menemaniku di setiap senang dan sulitku beradaptasi dgn kota ini. Asrama, kontrakan, kos 1 2 3, sepanjang jalan, rute view yang bagus, track yang bikin mabuk, pagi siang malam. ah ~
Setiap aku pulang, aku berharap bertemu dengannya. Bukan, ini bukan sekedar perasaan rindu. Aku ingin berbicara. Aku ingin berpisah dengan damai tanpa luka dan alam bawah sadar yang masih merasa berhutang dan terhutang.
Aku ingat, seminggu sebelum menikah ku sampaikan undangan kepadanya. Ku rasa, itu komunikasi kami terakhir. Setelah itu, tak pernah muncul balasan darinya walaupun beberapa tahun kemudian kami masih mutual di media sosial. Namun aku sadar, beberapa waktu terakhir aku berhenti mengikuti media sosialnya dan ntah berapa lama kemudian, ia pun melakukan hal yang sama.
Setelah ku ingat kembali, siklus seperti ini pernah terjadi. 2021 menghitung mundur ke 2016. Aku, dengan temanku yang lain kembali bertemu untuk berpisah dengan damai. Mengapa ini terjadi lagi empat tahun kemudian? Mengapa aku harus merasakan perasaan yang sama dengan menghitung mundur 2025 ke 2020?
Bahkan setelah ku membongkar memori, story yang masih tersimpan di archieve instagram terakhir di tgl 18 Januari 2020, di warung kopi favoritku karna kopi saringnya.
Aku tau ini absurd. Aku tau akulah penjahatnya. Aku tau rasanya tak pantas meminta untuk bertemu setelah luka dan duka yang mungkin tak pernah terobati yang sudah ku buat padamu. Aku baru saja mengomentari film yang jalan ceritanya mengarah kepada seorang perempuan yang mengajak mantan pacar untuk bekerja sama dalam sebuah project. Aku yang menonton, tapi aku marah. Ku pikir tokoh perempuannya terlalu egois. Lalu? Mengapa aku tak berkaca?
Tolong, izinkan aku berjumpa denganmu sekali lagi.